Minggu, 12 April 2015

CERPEN 1 - Mimpi

 Ketika aku membuka mataku pagi ini, udara yang kuhirup terasa begitu segar. Ada rasa nyeri di bagian belakang kepalaku. Mungkinkah aku pingsan setelah pertengkaran tadi malam. Ya, mungkin begitu. Tapi mana boleh bertengkar terlalu lama. Apalagi semalam aku memang keterlaluan. Mungkin sebaiknya aku segera bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mas Khoiron. Nayla juga sudah waktunya mandi.

Tapi ada sesuatu yang aneh. Kenapa dinding kamar kami bercat merah jambu? Aku duduk dan baru menyadari kalau aku berada di kamarku sendiri, di rumah orang tuaku. Kamar yang aku tinggalkan setelah aku menikah dan memiliki rumah sendiri. Aku menghirup lagi udara… aromanya terasa sangat familiar. Apa jangan-jangan tadi malam aku pergi dari rumah kami dan menginap di sini? Lalu, di mana Nayla? Aku tidak bisa mengingat apa aku membawanya ke sini.

Aku lalu buru-buru keluar dari kamar dan mencari ibuku, “Buuuu…. Ibuuuu…”

“Baru bangun kamu, Nak. Ada apa panggil-panggil ibu? Ayo sana cepat mandi!”

Aku tertegun memandang ibuku, “Ibu pakai semir rambut? Ubannya ndak ada semua.”


“Enak saja. Ibu kan emang belum ubanan. Ya sudah, ayo cepat mandi. Kamu apa ndak ke sekolah?”

“Ke sekolah? Buat apa?”

“Kamu ini bicara apa to, Nduk. Kok buat apa. Anak sekolah kok tanya buat apa ke sekolah.”

Lalu, ibuku memaksaku untuk segera mandi dan berganti seragam sekolah. Entah apa yang aku pikirkan aku pun menurut dan mengenakan seragam sekolah putih abu-abuku. Ibuku pasti sedang kumat pikunnya. Kasihan beliau, banyak yang harus dipikirkan dan dikerjakannya. Setiap bulan aku memang memberikan uang pada orang tuaku. Tetapi untuk pengobatan Bapak, ibu selalu menolak. Sudah satu tahun ini Bapak terserang stroke. Bapak menjadi tergantung pada kursi roda. Yah, mungkin keanehan pagi ini sampai-sampai aku harus memakai seragam SMA hanya karena kepikunan Ibu. Sembari menyantap sarapanku aku mendengar suara Bapak yang lantang memanggil-manggil Ibu.

“Bu, Bapak tuh.” Sahutku.

“Ah, Bapak ini selalu manja. Paling nyari dasi ndak ketemu.”

“Dasi? Lho bukannya…” Belum sampai selesai yang ingin aku ucapkan, Bapak muncul dari dalam kamar. Mengenakan kemeja warna biru gelap dan celana hitam. Bapak terlihat sangat gagah dan tangguh. Terakhir kali aku ingat Bapak segagah ini adalah ketika upacara kelulusanku udari SMA.

“Bapak?” Aku tertegun. Aku bersyukur dan bahagia Bapak sudah sembuh dari stroke dan kelihatan bugar sekali, “Alhamdulillah.” Ujarku sambil aku serbu Bapak. Aku peluk dengan erat.

“Sari… Ada apa, Nduk?” Bapak keheranan sambil membelai rambutku.

“Aku senang Bapak sudah sembuh.” Aku pun mulai menangis haru. Aku mendengar Bapak terkekeh geli dan kulepas pelukanku.

“Bapak cuma pilek saja.”

“Bukan. Maksudku, aku senang Bapak sudah sembuh dari stroke.” Kataku dengan gusar. Bapak dan Ibu saling berpandangan dan mengernyitkan dahi. Mereka terlihat kebingungan dengan tingkahku. Aku sendiri mulai merasa khawatir.

“Hush… ngomong apa kamu ini. Masa mendoakan bapak sendiri kena stroke.” Ibu langsung menghardikku. Ini aneh, semuanya aneh. Setelah aku perhatikan rumah ini juga kelihatan berbeda. Beberapa benda dan perabotan posisinya tidak begini ketika aku ke sini minggu lalu. Beberapa perabotan lama yang seharusnya sudah usang dan diganti yang baru masih ada di sini.

Tidak mungkin. Apakah ini benar? Apakah aku terlempar ke masa lalu? Mana mungkin ini bisa terjadi. Kurasakan nyeri di belakang kepalaku yang ternyata membengkak dan berupa benjolan sebesar bola kasti. Yang aku ingat, benjolan ini karena semalam aku bertengkar dengan Mas Khoiron. Lalu, dia memukulku dengan…

“Mas Khoiron.” Kataku dengan tiba-tiba. Bapak dan Ibu menoleh padaku, “Aku harus pulang, Bu.”

“Astaga Sari. Kenapa lagi? Kamu ngelantur terus sejak bangun tidur. Rumah kamu ya di sini. Lagipula ngapain kamu nyari Mas Khoiron?”

“Mas Koiron suamiku Ibu. Harusnya aku di rumah sekarang memasak sarapan untuk Mas Khoiron dan Nayla.”
“Nayla siapa?” tanya Bapak.

“Nayla anakku, Bapak. Anak perempuanku. Cucu Bapak dan Ibu.”

“Sari, duduk! Kamu jangan bicara sembarangan. Kamu itu masih kelas dua SMA sudah kurang ajar. Mas Khoiron itu sudah punya istri. Ndak boleh kamu suka padanya.” Suara Bapak yang menggelegar membuatku terduduk kembali di kursi meja makan. Air mata mulai menggenangi kedua mataku lagi. Kali ini bukan karena haru, melainkan kerana aku sangat sangat sangat bingung dengan yang terjadi pagi ini. Aku membuka mata dan aku berada entah di mana.

“Aku tahu, Bapak. Tapi istrinya sudah meninggal dan kemudian dia menikahiku. Kami punya anak. Namanya Nay…”

“Cukup!” dan aku pun langsung menelan kembali sisa kalimatku.

Aku diam cukup lama. Berusaha meresapi dan memahami yang sesungguhnya terjadi. Jika betul aku terlempar ke masa lalu, bagaimana dengan Nayla? Bagaimana di masa depan? Aku menghilang di masa depan dan muncul di lima tahun yang lalu. Nayla pasti kebingungan dan mencariku.

Tapi… tunggu dulu. Bagaimana jika sebetulnya semua yang aku ingat itu hanyalah mimpi. Aku menikah dengan Mas Khoiron pun hanya mimpi. Aku memiliki Nayla juga cuma mimpi. Aku menarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan. Begitu sesak semua ini. Nayla, oh Nayla. Mana mungkin bidadariku itu cuma mimpi. Aku masih ingat betapa gembiranya Mas Khoiron menemaniku ke dokter dan mengetahui aku hamil. Ketika aku akan melahirkan Nayla, Mas Khoiron berkeringat deras seperti orang habis mandi.

“Sari…” Suara Ibu membuyarkan lamunanku.

Aku menelan ludah dan lalu kukatakan,”Aku berangkat sekolah dulu, Bu.” Dan aku segera beranjak. Tentu bukan sekolahku yang aku tuju. Aku harus melihat apakah semua ini sungguh terjadi. Aku berjalan kaki menyusuri gang. Kudapati segalanya memang tidak sama. Rumah-rumah tetanggaku berbeda. Bukannya berubah tetapi justru kembali seperti yang kuingat lima tahun yang lalu. Keluar dari gang rumahku adalah jalan yang dilewati kendaraan-kendaraan. Sebuah sepeda motor lewat didepanku yang bertampang linglung. Seorang gadis kecil yang dibonceng seorang gadis berseragam SMA sama denganku menyapaku.

“Mbak Saaaarriii.” Gadis kecil itu melambaikan tangannya dengan riang. Kakaknya pun tersenyum melihatku. Aku ternganga. Gadis kecil itu biasa ke rumahku memang. Tapi itu dulu ketika dia masih sebesar itu. Seharusnya sekarang dia sudah kelas satu SMA. Aku menghentikan angkutan kota yang menuju perumahan Bukit Lestari.

Begitu aku tiba di tempat tujuan, aku buru-buru menuju alamat yang aku tuju. Jantungku berdetak dengan kencang sekali. Meskipun aku hanya setengah berlari, rasanya berat sekali. Ditambah belakang kepalaku yang semakin menjadi saja rasa nyerinya, dunia seperti berputar-putar.

Tibalah aku didepan sebuah rumah bercat merah marun dengan dua pohon mangga besar di dalam pagar. Terdengar kicau burung yang merdu yang bertengger di dalam sangkar yang digantungkan di bagian luar jendela rumah tersebut. Aku berjalan perlahan sambil masih terengah-engah mendekati rumah itu. Aku membuka pagar yang tidak dikunci dan masuk. Begitu aku sampai di pintu rumah, aku mendengar suara tawa yang aku kenal. Suara yang renyah dan menyenangkan. Suara Mas Khoiron.

Kedua orang itu muncul di ruang tamu, berdiri tepat berhadapan denganku. Aku seperti tersambar petir, kepalaku serasa berputar-putar. Mereka adalah Mas Khoiron dan istrinya. Dia masih hidup. Tidak mungkin. Seharusnya dia sudah mati. Seharusnya mereka tidak bersama. Seharusnya Mas Khoiron bersamaku.

“Sari? Ada apa pagi-pagi ke sini?” suara Mas Khoiron terdengar gugup. Aku dan dia memang sudah berhubungan sejak aku masih SMA. Meskipun dia sudah menikah aku tidak peduli. Aku menginginkannya. Aku mencintainya. Istrinya adalah wanita yang sungguh tidak pantas bersandingnya. Dia tidak cantik sama sekali. Dengan rambut keriting, badan tambun, dan kulit hitam, masih jauh lebih baik aku yang tinggi semampai dengan kulit kuning langsat dan rambut tergerai hitam. Pernah suatu kali istrinya mencurigai hubungan kami. Aku dan Mas Khoiron pun semakin hati-hati. Tapi aku tidak tahan dengan adanya pengganggu itu. Maka aku masukkan racun ke dalam makanannya. Biar dia mampus.

Mas Khoiron mendekatiku dan menarikku ke halaman sambil berbisik, “Kamu ngapain ke sini?”

Kuhempaskan pegangannya, aku berbalik dan kuserang wanita itu,”Heh, wanita brengsek. Beraninya kamu. Kamu sudah mati. Dengar itu kamu sudah mati.” Aku mencoba mencekik wanita itu. Tetapi dia berhasil mengelak dan menjambak rambutku.

“Kamu yang brengsek. Anak kecil tidak tahu diri. Penggoda suami orang!!” dia balas berteriak. Suara teriakan kami keras sekali. Mas Khoiron berusaha melerai tetapi sepertinya percuma saja.

“Sudah, sudah! Sari, lepaskan! Kamu sudah gila ya?” Mas Khoiron berseru. Pergulatan yang heboh terjadi di halaman rumah yang asri itu.

Lalu, tiba-tiba ada yang menarik tubuhku. Dengan mudahnya mengangkatku menjauh dari wanita tua brengsek itu. Ternyata Bapak menyusulku ke sini. Wajahnya geram sekali memandangku. Aku sungguh putus asa, air mataku berderai. Aku terlalu bingung dan putus asa dengan yang kuhadapi.

“Sudah Bapak duga kamu buat gara-gara di sini.”

“Aku tidak membuat gara-gara, Bapak. Wanita ini harusnya sudah mati. Aku yang membunuhnya. Seharusnya sekarang aku istrimu, Mas Khoiron. Kita sudah punya anak. Nayla…” Plak! Sebuah tamparan melayang di pipiku. Kini nyeriku bertambah. Bapak menamparku.

“Pulang sekarang. Bikin malu.” Bapak menarikku menuju mobil. Kusandarkan tubuhku di kursi depan mobil. Bapak menyetir dengan gusar, “Apa yang kamu pikirkan, Nduk. Kamu ngelantur sejak pagi.”

Yang mana yang hanya mimpi. Kejadian inikah? Atau justru kehidupanku dengan Mas Khoiron dan Nayla? Yang mana yang mimpi? Aku menarik napas dalam. Aku hanya perlu memejamkan mata. Semua ini akan berlalu. Kejadian aneh ini pastilah mimpi. Ketika nanti aku bangun dari tidurku, aku akan melihat Nayla lagi tersenyum manis dan lucu. Pasti.